Nama saya adalah Louis Samson. Saya kembali pada masa itu, saat SMA bersama teman-teman melakukan hal yang menurut saya sangat menyenangkan. Teman-teman mengatakan kalau saya adalah seorang psikopat lantaran hal yang menyenangkan bagi saya adalah mengganggu orang lain, minum-minuman keras, mabuk, narkoba dan kebiasaan buruk lainnya. Saya melakukan hal menyenangkan itu tanpa rasa bersalah.
Bukan tanpa alasan, saya melakukan hal ini semata-mata karena memendam kepahitan kepada Mama. Tak terhitung berapa jumlah aduan yang dilontarkan kepada Mama dari tetangga sekitar karena sikap bandel saya. Semua ini adalah bentuk pelampiasan saya kepada Mama.
Saya tega kepada Mama karena saya pikir, Mama juga sudah tega terhadap saya. Apa pun yang saya mau, semua itu harus bisa didapat, sekalipun itu membuat Mama menderita. Mama, dilain sisi tidak bisa berbuat banyak karena ketakutan kalau saya akan mengamuk. Saya berlaku kasar kepada Mama dengan banyak cara, membentak, melemparkan piring, gelas, atau hal buruk lainnya. Semua ini saya lakukan agar bisa jauh dari Mama.
Suatu malam, saat sedang menikmati musik bersama teman-teman sambil menenggak minuman keras dan narkoba, saya pingsan. Teman-teman panik, mereka menghubungi Mama untuk menjemput saya.
Sejak kecil, perilaku Mama keras terhadap saya. Saya pernah dipukulnya karena terlalu banyak menghabiskan waktu di pantai. Kesakitan itu, membuat hati membatu dan mendaratkan kepahitan dalam diri saya. Saya sadar kalau apa yang diperbuat oleh Mama adalah bentuk proteksi pada saya sebagai satu-satunya lelaki yang ada dalam keluarga. Namun hal ini membuat saya tidak bisa merasakan kebebasan layaknya anak-anak pada umumnya.
Bangun dari pingsan, saya mendapati Mama memeluk erat tubuh ini. Sakit hati dan kepahitan melingkupi saya, sehingga menganggap kalau pelukan yang diberikan Mama hanyalah sebatas kepura-puraan. Saat sadar, saya justru membentak Mama dan keesokannya kembali kepada sikap buruk yang sudah menjadi kebiasaan tersebut.
Kenakalan saya juga berlanjut di SMA. Dulu, saya sering membawa minuman keras. Jika tidak diminum di dalam kelas, maka saya dan 'geng' atau komplotan teman-teman memilih kamar mandi sebagai tempat kami untuk pesta minuman keras tersebut.
Tentu saja kebiasaan ini terendus oleh guru saya. Kami ketahuan. Kami dibawa ke kantor untuk dihadapkan kepada Mama. Saat itu, Mama bekerja di sekolah dimana saya menimba ilmu. Mengetahui anaknya begitu, Mama hanya mengatakan untuk tidak lagi melakukan hal ini karena bisa membuat dirinya malu.
Cita-cita saya adalah menjadi seorang arsitek. Hobi menggambar membuat saya berpikir bahwa betapa senangnya jika bisa merancang sebuah gedung. Saya ingin masuk ke STM. Mama bersikeras agar saya masuk ke SMA. Menurutnya, STM adalah tempatnya orang-orang nakal. Dia memaksa saya untuk masuk ke SMA. Saya kecewa karena tidak bisa menentukan apa yang saya inginkan.
Sempat berpikir kalau ketiadaan Mama akan membuat kehidupan saya lebih baik. Saya ingin buat Mama menyesal atas apa yang telah ia lakukan kepada saya. Suatu hari, baru saja saya mengukir sebuah tattoo di daerah betis. Hari itu Mama sedang sakit. Saya mengetuk pintu untuk meminta uang kepada Mama.
Mengetahui kalau saya membuat sebuah tattoo lagi di bagian tubuh ini, Mama mohon ampun atas apa yang telah diperbuatnya terhadap hidup saya. Saya masih ingat bagaimana ia memohon agar saya bisa memaafkannya. Mama minta maaf kalau dia terlalu mengatur hidup saya. Yang saya tahu, saya puas atas apa yang telah dilakukan kepada Mama.
Baca juga: Murka Tuhan Membawaku Dalam Tubuh Yang Terpotong-Potong, Leonardo Edo
Ada satu titik dalam hidup, dimana ada perasaan lelah dan ingin keluar dari kebiasaan buruk ini. Malam itu saya sedang mabuk. Ketika saya berkata kalau saya ingin memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik kepada Tuhan, saya bisa merasakan ada damai sejahtera dalam saya.
Ada damai sejahtera yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Saya menyadari kalau kasih setia Tuhan luar biasa dalam kehidupan ini. Saya bisa merasakan kasih Tuhan Yesus dari Mama. Bagaimana Mama bisa menerima, bisa memeluk saya. Saya melihat kalau kasih Tuhan Yesus itu ada dalam Mama. Itu cara Tuhan mengipertasikan kasihnya melalui Mama kepada saya. Saya menikmati hal tersebut hingga hari ini.
Semua kesalahan saya yang membuat hati Mama terluka, buat Mama menderita, sakit, hingga hampir meninggal, tetapi Mama tidak pernah sedikitpun membenci saya. Saya menghampiri Mama, berada di sampingnya, Mama memeluk saya. Saat itu saya tahu kalau Mama sangat bersuka cita.
Itu juga adalah titik dimana saya memutuskan untuk mengikuti sekolah teologia. Saya tahu Mama sangat bahagia, saya lihat Mama sangat bersukacita ketika ia tahu saya berhasil diterima untuk masuk ke sekolah teologia. Juni 1999, saya berangkat untuk masuk sekolah teologia dan lulus tahun 2003. Setahun setelahnya, saya menikahi istri saya, Kezia.
Namun tidak lama setelah pernikahan kami, Mama drop dan harus menghembuskan nafas terakhirnya. Saya tidak bisa datang ke Ambon kaena saat itu terjadi kerusuhan kecil disana, tahun 2004. Saya tahu pasti kalau Mama meninggal dengan damai dan sukacita karena keinginannya untuk membesarkan anak-anaknya dengan baik sudah terwujud. Saya bersyukur buat Mama yang sangat mengasihi Mama.
Mama adalah seorang ibu yang penuh kasih. Seberapa saya menyakiti hatinya, namun kasihnya sungguh luar biasa. Mama adalah sosok yang bisa menerima apa adanya. Walaupun saya nakal, ia tidak pernah malu untuk menganggap saya sebagai anaknya. Saya percaya kalau Mama bisa kuat karena ia punya Tuhan Yesus dalam kehidupannya. Mama pergi dan meninggalkan harta yang paling bernilai buat kami sekeluarga, yaitu takut akan Kristus yang hingga kini kami masih miliki.